Saturday 11 November 2017

Hukum transaksi forex dalam islam


Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan to przedsiębiorca z Indonezji. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas z artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAŻ FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, bahipoetics Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbol karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sam lainnya sesuai denaw penanaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata ung antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat international dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara z negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekretarz nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- ada perjanjian untuk memberi menerima Penny menyerahkan barang i pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan z lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli jang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi i Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat haru diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil ma bardzo duży rozmiar, seperti ketela, kentang, bawang i dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugia jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam dla dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etykieta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Władza malejąca dennis valuta as adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, walczący Inggris, ringgit Malezja i Sebaski. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan waluta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Zablokowany przez użytkownika, którego nazwa wskazuje na nazwę użytkownika, a mianowicie nazwę użytkownika. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, i inni, Ekonomi dan Koperasi, Dżakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonezja Nr: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan do memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata ż dikenal beberapa ż Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda ż antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai z ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf dla pedicadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muzułmański dari Ubadah bin Shamit, Nabi widział bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak den z perak, gandum z gandum, syair z syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sam pan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda: (Jual-beli) emas den perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi see bersabda: Janganlah kamu menjual emas z emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lang janganlah menjual perak z perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjali emas i perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Bara bin Azib i Zaid bin Arqam. Rasulullah dostrzegł melarang menjual perak den gara sekara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum musthen terikat z syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan z syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Jednostka Usaha Syariah Bank BNI nr. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh z ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak do spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila priemonės darbībām tādētējās tādētējās tādētējās tādētējās. (Kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing dla penyerahan pada saat itu (bez recepty) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunika, sedangkan watku dui hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bis dihindari i merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian i penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang i diberlakukan untuk waktu yang akang datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan z kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama z nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement for kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga naprzód. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPCJA yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit waluta asing pada harga jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejg tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah i disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Dżakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Marzec 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAForex menurut Hukum Islam Banyak perforowany pendapat tentang forex itu wysyła, ada yang mengatakan tidak boleh, tetapi ada juga yang mengatakan boleh. Dibawah ini adalah pendapat yang membolehkan dari beberapa sumber tentang forex itu sendiri (sedang dla yang tidak membolehkan forex itu sendiri, silahkan search Google). Fit4global. wordpress hanya memberi wacana, dan hanya fokus ke riset ilmiah tentang pergerakan forex. Fit4global. wordpress memate didedikasikan untuk meriset secara logika dan ilmiah tentang pergerakan forex baik teknikal maupun fundamentalne. Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam Apa pendapat para ulama mengenai trading forex, handel saham, indeks handlowy, saham, dan komoditi Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam Mari kita ikuti selengkapnya. Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu, sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islamski sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya. Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal z pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Koran, sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada. Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar, ujar Dr Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan. Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena sät i dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah. Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga den jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional. Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasail almuashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti. Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqaI la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran i Sunnah sudah selesai tidak lagi ada tambahan. Z powodu demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad. Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-ayan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl. Dalam penerapannya, sekara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islamski dalam pengertian bagaimana hukum Islamski diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komodi dalam era globalisasi i perdagangan bebas. Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan denangat dan bunyi UU nr 321977 tentang PBK. Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastanis hukum Islamski dalam kelembagaan i praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islamski dapat dianalogikan dengan bay al-salamajl biajil. Zatoka al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay ajl dwujil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang z ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ras al-mal dalam bentuk ung sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafiija i Hanabilah mendefinisikannya dengan: Akad atas komodas jiji bibi yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jant y ditetapkan di dalam bursa akad. Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun i syarat sebagai berikut: a) Rukun sebagai unsur-unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay al-salam adalah: Pihak-pihak pelaku transaksi (aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih. Objek transaksi (maqud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka i harga tukar (ras al-mal al salam i al-muslim fih). Kalimat transaksi (Sighat aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adabah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa i kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafiiyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa aqd al-salam adalah bay al-madum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (kupować). Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi haru memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (yakun fi jinsin malumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, staw, dst. Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualaitari istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan denim maksud menghilangkan jahalah fi al-aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi. Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau prawodawca maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum i pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat i jiwa norma hukum islam, dengan menganalogikan kepada bay al-salam. 1. Podstawowe umowy giełdowe Istnieje powszechny konsensus wśród islamskich jurystów, którzy oceniają, że waluty różnych krajów mogą być wymieniane na miejscu w tempie różnym od jedności, ponieważ waluty różnych krajów są odrębnymi jednostkami o różnych wartościach lub wewnętrznych wartościach i siłę nabywczą. Wydaje się, że większość z nich jest ogólnie zgodna z poglądem, że wymiana walutowa na zasadzie forward jest niedopuszczalna, tzn. Gdy prawa i obowiązki obu stron odnoszą się do przyszłej daty. Jednakże wśród prawników istnieje znaczna różnica zdań, gdy prawa jednej ze stron, które są takie same jak zobowiązania kontrahenta, zostają przesunięte na przyszłą datę. Aby rozwinąć, weźmy pod uwagę przykład dwóch osób A i B, które należą do dwóch różnych krajów, odpowiednio Indii i USA. Zamierza sprzedać indyjskie rupie i kupić dolary amerykańskie. Odwrotność jest prawidłowa dla B. Ustalony kurs wymiany rupia-dolar wynosi 1:20, a transakcja obejmuje kupno i sprzedaż 50. Pierwsza sytuacja polega na tym, że A dokonuje wypłaty punktowej Rs1000 na B i akceptuje wypłatę 50 od B Transakcja rozliczana jest na podstawie spotu z obu stron. Takie transakcje są ważne i dopuszczalne z islamu. Nie ma dwóch opinii na ten temat. Druga możliwość jest taka, że ​​rozliczenie transakcji z obu stron zostaje przesunięte na przyszłą datę, powiedzmy po upływie sześciu miesięcy. Oznacza to, że zarówno A, jak i B będą musiały zapłacić 1000 Rs lub 50, w zależności od przypadku, po sześciu miesiącach. Dominującym poglądem jest to, że taka umowa nie jest zgodna z islamem. Opinia mniejszości uważa ją za dopuszczalną. Trzecim scenariuszem jest to, że transakcja jest częściowo rozliczana tylko z jednego końca. Przykładowo, A dokonuje płatności w wysokości 1000 Rs za B zamiast obietnicy B, aby zapłacić mu 50 po sześciu miesiącach. Alternatywnie, A akceptuje 50 teraz od B i obiecuje zapłacić Rs1000 do niego po sześciu miesiącach. Istnieją diametralnie różne poglądy na temat dopuszczalności takich umów, które stanowią bai-salam w walutach. Celem niniejszego artykułu jest przedstawienie kompleksowej analizy różnych argumentów popierających i sprzeciwiających się dopuszczalności tych podstawowych umów dotyczących walut. Pierwsza forma zawierania kontraktów na wymianę waluty na miejscu jest poza wszelkimi kontrowersjami. Dopuszczalność lub inny rodzaj drugiego rodzaju kontraktu, w którym przekazanie jednej z walorów odroczono do przyszłej daty, jest ogólnie omawiane w ramach zakazu riba. W związku z tym omawiamy tę umowę szczegółowo w sekcji 2 poświęconej kwestii zakazu riba. Dopuszczalność trzeciej formy umowy, od której odroczona jest dostawa obu kontr wartości, jest ogólnie dyskutowana w ramach zmniejszania ryzyka i niepewności lub gharar związanych z takimi umowami. Jest to zatem główny temat sekcji 3, która zajmuje się kwestią gharar. Sekcja 4 próbuje całościowego spojrzenia na szariat odnoszący się do kwestii, a także znaczenie ekonomiczne podstawowych form zawierania kontraktacji na rynku walutowym. 2. Zagadnienie zakazu Riba Rozbieżności poglądów1 dotyczące dopuszczalności lub innych umów walutowych w walutach można wywnioskować przede wszystkim z zakazu riba. Najważniejsze znaczenie ma potrzeba wyeliminowania riba we wszelkich formach umów o wymianie. Riba w kontekście szariatu jest ogólnie zdefiniowana2 jako niezgodna z prawem korzyść wynikająca z ilościowej nierówności kontrargumentów w każdej transakcji mającej na celu wymuszenie wymiany dwóch lub więcej gatunków (anwa), które należą do tego samego rodzaju (jins) i są regulowane przez ta sama sprawność (illa). Riba jest zazwyczaj klasyfikowana jako riba al-fadl (nadmiar) i riba al-nasia (odroczenie), które oznaczają niezgodną z prawem korzyść w drodze nadwyżki lub odroczenia. Zakaz tego pierwszego osiąga się przez zastrzeżenie, że kurs wymiany między przedmiotami jest jednością i żadna korzyść nie jest dozwolona dla żadnej ze stron. Ten ostatni rodzaj riba jest zabroniony przez niedozwolone odroczenie rozliczeń i zapewnienie, że transakcja jest rozliczana na miejscu przez obie strony. Inna forma riba nazywa się riba al-jahiliyya lub przedmiesięcznym riba, które pojawia się, gdy pożyczkodawca prosi kredytobiorcę o terminie zapadalności, jeśli ten ostatni ureguluje zadłużenie lub zwiększy to samo. Wzrostowi towarzyszy pobieranie odsetek od początkowo zapożyczonej kwoty. Zakaz riba w wymianie walut należących do różnych krajów wymaga procesu analogii (qiyas). I w każdym takim ćwiczeniu obejmującym analogię (qiyas), skuteczna przyczyna (illa) odgrywa niezwykle ważną rolę. Jest to często sprawna przyczyna (illa), która łączy przedmiot analogii z przedmiotem, w ćwiczeniu analogicznego rozumowania. Odpowiednia efektywna przyczyna (illa) w przypadku umów wymiany została różnie określona przez główne szkoły Fiqh. Różnica ta znajduje odzwierciedlenie w analogicznym rozumieniu walut papierowych należących do różnych krajów. Kwestia o znaczącym znaczeniu w procesie analogicznego rozumowania dotyczy porównania między papierowymi walutami ze złotem i srebrem. W początkach islamu złoto i srebro spełniały wszystkie funkcje pieniędzy (thaman). Waluty były wykonane ze złota i srebra o znanej wewnętrznej wartości (zawierającej kwant złota lub srebra). Takie waluty są opisane jako thaman haqiqi, lub naqdain w literaturze Fiqh. Były powszechnie akceptowane jako główne środki wymiany, co stanowi znaczny pakiet transakcji. Wiele innych towarów, takich jak różne gorsze metale, służyło również jako środek wymiany, ale z ograniczoną akceptowalnością. Są one opisane jako fals w fiqh literatury. Są to również znane jako thaman istalahi ze względu na fakt, że ich akceptowalność nie wynika z ich wewnętrznej wartości, ale ze względu na status przyznany przez społeczeństwo w danym okresie. Powyższe dwa rodzaje walut były traktowane w bardzo różny sposób przez wczesnych islamskich prawników z punktu widzenia dopuszczalności zawieranych z nimi umów. Kwestią, która musi zostać rozwiązana, jest to, czy obecne waluty papierów wiekowych należą do poprzedniej kategorii czy drugiej. Jeden pogląd jest taki, że powinny one być traktowane na równi z thaman haqiqi lub złotem i srebrem, ponieważ służą one jako główny środek wymiany i jednostka rozliczeniowa jak ta druga. W związku z tym, zgodnie z analogicznym rozumowaniem, wszystkie odnoszące się do szariatu normy i nakazy mające zastosowanie do taman haqiqi powinny również mieć zastosowanie do waluty papierowej. Wymiana żongan haqiqi jest znana jako bai-sarf, a zatem transakcje w walutach papierowych powinny podlegać regułom szariatu właściwym dla bai-sarf. W przeciwieństwie do poglądów stwierdza się, że waluty papierowe powinny być traktowane w sposób podobny do fals lub thaman istalahi ze względu na fakt, że ich wartość nominalna różni się od ich wewnętrznej wartości. Ich akceptowalność wynika z ich statusu prawnego w kraju lub znaczeniu gospodarczym na świecie (np. W przypadku dolara amerykańskiego). 2.1. Synteza poglądów alternatywnych 2.1.1. Analogiczne rozumowanie (Qiyas) dla zakazu Riba Zakaz riba opiera się na tradycji, którą powiedział święty prorok (niech spoczywa w pokoju), Sprzedaj złoto za złoto, srebro za srebro, pszenicę na pszenicę, jęczmień na jęczmień, datę na randkę, sól do soli, w takich samych ilościach na miejscu, a gdy towar różni się od siebie, sprzedaj, jak Ci odpowiada, ale na miejscu. Tak więc zakaz riba dotyczy przede wszystkim dwóch metali szlachetnych (złota i srebra) oraz czterech innych towarów (pszenicy, jęczmienia, daktyli i soli). Dotyczy to także analogii (qiyas) do wszystkich gatunków, które podlegają tej samej skutecznej przyczynie (illa) lub należą do któregokolwiek z rodzajów wymienionych sześciu obiektów wymienionych w tradycji. Jednak nie ma ogólnej zgody pomiędzy różnymi szkołami Fiqh, a nawet uczonymi należącymi do tej samej szkoły w zakresie definicji i identyfikacji skutecznej przyczyny (illa) ryb. W przypadku Hanafi, efektywna przyczyna (illa) riba ma dwa wymiary: wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), które posiadają ciężar (wazan) lub mierzalność (kiliyya). Jeżeli w danej wymianie występują oba elementy przyczyny efektywnej (illa), to znaczy wymieniane kontrary należą do tego samego rodzaju (jins) i wszystkie są ważone lub wszystkie mierzalne, wówczas żadne zyski nie są dopuszczalne (kurs walutowy musi być być równe jedności), a wymiana musi być przeprowadzona na miejscu. W przypadku złota i srebra, dwa elementy skutecznej przyczyny (illa) to: jedność rodzaju (jins) i ważenie. Jest to również widok Hanbali według jednej wersji3. (Odmienna wersja jest podobna do widoku Shafii i Maliki, jak omówiono poniżej.) Tak więc, gdy złoto jest wymieniane na złoto, lub srebro jest wymieniane na srebro, dozwolone są tylko transakcje kasowe bez żadnych zysków. Możliwe jest także, że w danej dacie występuje jeden z dwóch elementów skutecznej sprawy (illa), a drugi nieobecny. Na przykład, jeżeli wymieniane artykuły są ważone lub mierzalne, ale należą do innego rodzaju (jins) lub, jeżeli wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), ale żadna z nich nie jest ważona ani mierzalna, wówczas wymiana z zyskiem (w tempie innym niż jedność) jest dopuszczalna, ale wymiana musi być na miejscu. Tak więc, gdy złoto jest wymieniane na srebro, stawka może różnić się od jedności, ale nie jest dopuszczalne odroczenie rozliczeń. Jeżeli w danej wymianie nie występuje żaden z dwóch elementów czynnika sprawczego (illa) ryb, wówczas żadne z zaleceń dotyczących zakazu riba nie ma zastosowania. Wymiana może odbywać się z zyskiem lub bez, zarówno na miejscu, jak i na odroczeniu. Biorąc pod uwagę wymianę walut papierowych należących do różnych krajów, zakaz riba wymagałby szukać skutecznej przyczyny (illa). Waluty należące do różnych krajów są wyraźnie odrębnymi podmiotami, które są prawnym środkiem płatniczym w określonych granicach geograficznych o różnej wewnętrznej wartości lub siły nabywczej. Stąd ogromna większość uczonych słusznie twierdzi, że nie ma jedności rodzaju (dżiny). Dodatkowo nie są one ani ważone, ani mierzalne. Prowadzi to do bezpośredniego wniosku, że żaden z dwóch elementów wydajnej przyczyny (illa) riby nie istnieje w takiej wymianie. W związku z tym wymiana może odbywać się bez jakiegokolwiek nakazu dotyczącego kursu wymiany i sposobu rozliczenia. Logika leżąca u podstaw tej pozycji nie jest trudna do zrozumienia. Istotna wartość walut papierowych należących do różnych krajów różni się, ponieważ mają one różną siłę nabywczą. Ponadto wartość wewnętrzna lub wartość papierowych walut nie mogą być zidentyfikowane ani oceniane w odróżnieniu od złota i srebra, które można ważyć. W związku z tym nie można ustalić obecności riba al-fadl (przez nadmiar), ani riba al-nasia (przez odroczenie). Szkoła Shafii w Fiqh uważa, że ​​sprawa sprawna (illa) w przypadku złota i srebra jest ich własnością z powodu waluty (thamaniyya) lub medium wymiany, jednostki rozliczeniowej i magazynu wartości. Jest to także widok Maliki. Zgodnie z jedną wersją tego poglądu, nawet jeśli papier lub skóra jest środkiem wymiany i ma status waluty, to wszystkie zasady odnoszące się do naqdain lub złota i srebra odnoszą się do nich. Tak więc, zgodnie z tą wersją, dopuszczalna jest wymiana walut różnych państw w różnym tempie niż jedność, ale musi być ona rozliczana na miejscu. Inną wersją powyższych dwóch poglądów jest to, że powyższa skuteczna przyczyna (illa) bycia walutą (thamaniyya) jest specyficzna dla złota i srebra i nie może być uogólniona. Oznacza to, że każdy inny obiekt, jeśli jest używany jako środek wymiany, nie może zostać uwzględniony w swojej kategorii. W związku z tym, zgodnie z tą wersją, nakazy szariatu dotyczące zakazu riba nie mają zastosowania do walut papierowych. Waluty należące do różnych krajów mogą być wymieniane z zyskiem lub bez, zarówno na miejscu, jak i na zasadzie odroczenia. Zwolennicy wcześniejszej wersji cytują przypadek wymiany papierowych walut należących do tego samego kraju w obronie ich wersji. W tej sprawie zgodna opinia prawników mówi, że taka wymiana musi odbywać się bez zysku lub w wysokości równej jedności i musi być ustalana na miejscu. Jakie są przesłanki leżące u podstaw powyższej decyzji Jeśli wziąć pod uwagę Hanafi i pierwszą wersję stanowiska Hanbali, to w tym przypadku występuje tylko jeden wymiar przyczyny skutecznej (illa), to znaczy należą one do tego samego rodzaju (jins ). Ale waluty papierowe nie są ani ważone, ani mierzalne. W związku z tym prawo Hanafi najwidoczniej umożliwiłoby wymianę różnych ilości tej samej waluty na miejscu. Podobnie, jeśli skuteczną przyczyną bycia walutą (thamaniya) jest tylko złoto i srebro, prawo Shafii i Maliki pozwolą na to samo. Nie trzeba dodawać, że to pozwala na zaciąganie pożyczek i udzielanie pożyczek z riba. To pokazuje, że jest to pierwsza wersja myśli Shafii i Maliki, która leży u podstaw decyzji o zakazie zysku i odroczonego rozliczenia w przypadku wymiany walut należących do tego samego kraju. Według zwolenników, rozszerzenie tej logiki na wymianę walut różnych krajów oznaczałoby, że wymiana z zyskiem lub w tempie różnym od jedności jest dozwolona (ponieważ nie ma jedności jins), ale rozliczenie musi być na miejscu. 2.1.2 Porównanie wymiany walut i Bai-Sarf Bai-sarf jest zdefiniowane w literaturze Fiqh jako wymiana z udziałem thaman haqiqi, zdefiniowanej jako złoto i srebro, które służyły jako główny środek wymiany dla prawie wszystkich dużych transakcji. Zwolennicy poglądu, że jakakolwiek wymiana walut różnych krajów jest taka sama jak bai-sarf, argumentują, że w obecnym wieku waluty papierowe skutecznie i całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako medium wymiany. Zatem, analogicznie, wymianę takich walut należy regulować tymi samymi zasadami szariatu i nakazami, co bai-sarf. Argumentuje się również, że jeśli dozwolone jest rozstrzyganie sporów przez obie strony umowy, otworzy to możliwości riba-al nasia. Przeciwnicy kategoryzacji wymiany walut z bai-sarf wskazują jednak, że wymiana wszystkich form waluty (thaman) nie może być określana jako bai-sarf. Zgodnie z tym poglądem bai-sarf oznacza wymianę walut ze złota i srebra (thaman haqiqi lub naqdain), a nie pieniędzy wymienianych jako takie przez władze państwowe (thaman istalahi). Obecne waluty wieku są przykładami tego ostatniego rodzaju. Ci uczeni znajdują poparcie w tych pismach, które twierdzą, że jeśli towary wymiany nie są złotem ani srebrem (nawet jeśli jedna z nich jest złota lub srebra), wówczas wymiany nie można określić jako bai-sarf. Również postanowienia dotyczące bai-sarf nie miałyby zastosowania do takiej wymiany. Według Imama Sarakhsi4, gdy dana osoba kupuje falsy lub monety wykonane z gorszych metali, takich jak miedź (thaman istalahi) dla dirhamów (thaman haqiqi) i dokonuje natychmiastowej spłaty tego ostatniego, ale sprzedawca nie ma w tym momencie falsyfikatu , wówczas taka wymiana jest dopuszczalna. objęcie towarów wymienianymi przez obie strony nie jest warunkiem wstępnym (w przypadku bai-sarf jest.) Istnieje szereg podobnych odniesień, które wskazują, że prawnicy nie klasyfikują wymiany fals (thaman istalahi) na inną fals ( thaman istalahi) lub złoto lub srebro (thaman haqiqi), jako bai-sarf. Dlatego wymiana walut dwóch różnych krajów, które mogą kwalifikować się jako istamahi thaman, nie może być sklasyfikowana jako bai-sarf. Nie można też nałożyć na takie transakcje jakichkolwiek ograniczeń dotyczących rozliczania lokalnego. Należy tu zauważyć, że w definicji bai-sarf podaje się literaturę Fiqha i nie ma takiej wzmianki w świętych tradycjach. Tradycje mówią o riba, a sprzedaż i zakup złota i srebra (naqdain), które mogą być głównym źródłem riba, jest opisane jako bai-sarf przez islamskich jurists. Należy również zauważyć, że w literaturze Fiqh bai-sarf oznacza wymianę złota lub srebra tylko bez względu na to, czy są one obecnie używane jako środek wymiany, czy nie. Wymiana z udziałem dinarów i złotych ozdób, zarówno jakości jak bai-sarf. Różni prawnicy starali się wyjaśnić tę kwestię i zdefiniowali sflackę jako giełdę, w której oba towary wymieniane są w naturze taman, niekoniecznie sami. Dlatego też, nawet jeśli jeden z surowców jest przetwarzany w złoto (np. Ozdoby), taka wymiana nazywa się bai-sarf. Zwolennicy poglądu, że wymiana walutowa powinna być traktowana w sposób podobny do bai-sarf, również czerpią wsparcie z pism wybitnych islamskich jurystów. Według Imama Ibn Taimiya wszystko, co spełnia funkcje medium wymiany, jednostki rozliczeniowej i zasobu wartości, nazywa się thaman (niekoniecznie ograniczone do srebra ze złotymi ampami). Podobne referencje są dostępne w pismach Imam Ghazzali5 Jeśli chodzi o poglądy Imam Sarakhshi dotyczące wymiany z udziałem fals, należy przy tym uwzględnić kilka dodatkowych punktów. We wczesnych czasach Islamu dinozaury i dirhamy wykonane ze złota i srebra były używane głównie jako środek wymiany we wszystkich głównych transakcjach. Tylko drobne osiedlone były z fals. Innymi słowy, falsy nie posiadały cech pieniądza ani thamaniya w całości i były rzadko używane jako zasób wartości lub jednostki rozliczeniowej i miały raczej charakter towarowy. W związku z tym nie istniały ograniczenia dotyczące zakupu tego samego złota i srebra na zasadzie odroczenia. Współczesne waluty mają wszystkie cechy thamana i mają być tylko thamanem. Wymiana walut z różnych krajów jest taka sama, jak bai-sarf z różnicami jins, a tym samym odroczone rozliczenie doprowadziłoby do riba al-nasia. Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustruje tę możliwość za pomocą przykładu6. Pisze W danym momencie, kiedy rynkowa stopa wymiany między dolarem a rupią wynosi 1:20, jeśli dana osoba kupi 50 w wysokości 1:22 (uregulowanie zobowiązania w rupiach odroczonego do przyszłej daty), to jest bardzo prawdopodobne, że jest. w rzeczywistości, pożyczając Rs. 1000 zamiast obietnicy spłacenia Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Od tego czasu może on uzyskać Rs 1000 już teraz, zamieniając 50 zakupionych na kredyt w cenie spot). Dlatego też, szarfę można przekształcić w pożyczkę na pożyczki oparte na odsetkach. 2.1.3 Definiowanie Thamaniya jest kluczem Z powyższej syntezy alternatywnych poglądów wynika, że ​​kluczową kwestią wydaje się właściwa definicja thamaniya. Na przykład fundamentalne pytanie, które prowadzi do rozbieżnych stanowisk odnośnie dopuszczalności, odnosi się do tego, czy thamaniyya jest specyficzna dla złota i srebra, czy też może być związana z czymkolwiek, co pełni funkcję pieniądza. Podejmujemy niektóre kwestie poniżej, które mogą być wzięte pod uwagę przy każdym ponownym rozpatrzeniu alternatywnych stanowisk. Należy zauważyć, że thamaniyya nie może być absolutna i może się różnić w stopniach. To prawda, że ​​waluty papierowe całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako środek wymiany, jednostkę rozliczeniową i magazyn wartości. W tym znaczeniu można powiedzieć, że waluty papierowe mają thamaniyya. Dotyczy to wyłącznie walut krajowych i może nie być prawdą dla walut obcych. Innymi słowy, indyjskie rupie mają thamaniyya tylko w granicach geograficznych Indii i nie mają żadnej akceptowalności w USA. Nie można powiedzieć, że posiadają one thamaniyya w USA, chyba że obywatel USA może użyć indyjskich rupii jako środka wymiany, jednostki rozliczeniowej lub zasobu wartości. W większości przypadków taka możliwość jest zdalna. Ta możliwość jest również funkcją mechanizmu kursu walutowego, takiego jak wymienialność rupii indyjskich w dolary amerykańskie oraz czy istnieje stały lub zmienny system kursów walutowych. Na przykład, zakładając bezpłatną wymienialność rupii indyjskich na dolary amerykańskie i odwrotnie oraz system sztywnego kursu walutowego, w którym nie przewiduje się zwiększenia lub zmniejszenia kursu rupii dolara w dającej się przewidzieć przyszłości, thamaniya rupia w USA znacznie się poprawiła . Przywołany przez dr Nejatullah Siddiqui przykład również wydaje się dość solidny w danych okolicznościach. Pozwolenie na zamianę rupii za dolary na zasadzie odroczonej (z jednego końca, oczywiście) po kursie innym niż kurs spotowy (oficjalna stopa, która prawdopodobnie pozostanie stała do dnia rozliczenia) byłoby wyraźnym przypadkiem oprocentowania pożyczki i pożyczki. Jednakże, jeśli założenie stałego kursu walutowego jest złagodzone i zakłada się, że obecny system wahań i zmienności kursów ma miejsce, można wykazać, że przypadek riba al-nasia ulegnie awarii. Przepisujemy jego przykład: w danym momencie w momencie, gdy kurs rynkowy wymiany między dolarem a rupia wynosi 1:20, jeśli indywidualne zakupy 50 w wysokości 1:22 (rozliczenie jego zobowiązania w rupiach odroczone do przyszłej daty ), to jest bardzo prawdopodobne, że tak. w rzeczywistości, pożyczając Rs. Teraz 1000 zamiast obietnicy spłaty Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Ponieważ może on teraz uzyskać Rs 1000, zamieniając 50 zakupionych na kredyt w kursie spot). Byłoby tak, tylko jeśli ryzyko walutowe nie istnieje (kurs wymiany pozostaje na 1:20), lub jest ponoszone przez sprzedającego dolarów (odkupu kupującego w rupiach, a nie w dolarach). Jeśli ta pierwsza jest prawdziwa, sprzedawca dolarów (pożyczkodawca) otrzymuje z góry ustalony zwrot w wysokości dziesięciu procent, gdy przelicza Rs1100 otrzymane w terminie zapadalności na 55 (przy kursie wymiany 1:20). Jeśli jednak jest to prawdą, wówczas zwrot do sprzedawcy (lub pożyczkodawcy) nie jest z góry określony. To nie musi być nawet pozytywne. Na przykład, jeśli kurs rupii-dolara wzrośnie do 1:25, sprzedający dolar otrzyma tylko 44 (Rs 1100 przeliczone na dolary) na inwestycję w wysokości 50. Warto wspomnieć o dwóch punktach. Po pierwsze, gdy zakłada się stały reżim kursu walutowego, rozróżnienie między walutami różnych krajów ulega rozrzedzeniu. Sytuacja staje się podobna do wymiany funtów ze sterlingami (waluty należące do tego samego kraju) przy stałej stawce. Po drugie, gdy zakłada się niestabilny system kursów walutowych, to tak jak można sobie wyobrazić kredytowanie za pośrednictwem rynku walutowego (mechanizm sugerowany w powyższym przykładzie), można również wizualizować pożyczki za pośrednictwem dowolnego innego zorganizowanego rynku (np. Dla towarów lub akcji .) Jeśli jeden zastąpi dolarów dla zapasów w powyższym przykładzie, będzie to oznaczać: W danym momencie, gdy cena rynkowa zapasów X wynosi 20 Rs, jeśli dana osoba kupi 50 zapasów w wysokości R 22 (rozliczenie jego zobowiązanie w rupiach odroczone na przyszłą datę), to jest wysoce prawdopodobne, że tak. w rzeczywistości, pożyczając Rs. Teraz 1000 zamiast obietnicy spłaty Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Od tego czasu może on uzyskać Rs 1000 teraz, wymieniając 50 akcji zakupionych na kredyt po bieżącej cenie) W tym przypadku, podobnie jak w poprzednim przykładzie, zwroty do sprzedawcy akcji mogą być ujemne, jeśli cena akcji wzrośnie do Rs 25 w rozliczeniu data. Zatem, podobnie jak zwroty na giełdzie lub na rynku towarowym są akceptowalne w sposób islamiczny ze względu na ryzyko cenowe, a więc są to zwroty na rynku walutowym z powodu wahań cen walut. Unikalną cechą thaman haqiqi lub złota i srebra jest to, że wartość wewnętrzna waluty jest równa jej wartości nominalnej. Tak więc kwestia różnych granic geograficznych, w obrębie których dana waluta, jak dinar lub dirham krąży, jest całkowicie bez znaczenia. Złoto jest złotem w kraju A lub kraju B. Tak więc, gdy waluta kraju A ze złota jest wymieniana na walutę kraju B, również ze złota, to jakiekolwiek odchylenie kursu wymiany od jedności lub odroczenie rozliczenia przez którąkolwiek ze stron nie można dopuścić, ponieważ wyraźnie wiązałoby się z riba al-fadl, a także riba al-nasia. Jednakże, gdy waluty papierowe w kraju A są wymieniane na papierową walutę kraju B, sprawa może być zupełnie inna. Ryzyko cenowe (ryzyko kursowe), jeśli jest dodatnie, wyeliminowałoby wszelkie możliwości riba al-nasia w zamian z odroczonym rozliczeniem. Jeśli jednak ryzyko cenowe (ryzyko kursu walutowego) wynosi zero, taka wymiana może być źródłem riba al-nasia, jeśli dozwolone jest rozliczanie odroczone7. Kolejnym punktem, który zasługuje na poważną uwagę, jest możliwość, że niektóre waluty mogą posiadać atlanta, czyli jako środek wymiany, jednostkę rozliczeniową lub magazyn o wartości na całym świecie w kraju krajowym i zagranicznym. Na przykład dolar amerykański jest prawnym środkiem płatniczym w Stanach Zjednoczonych, jest również akceptowalny jako środek wymiany lub jednostka rozliczeniowa dla dużej liczby transakcji na całym świecie. Zatem ta konkretna waluta może być nazwana thamanianą na całym świecie, w takim przypadku prawnicy mogą nakładać stosowne nakaz aresztowania na wymianach dotyczących tej konkretnej waluty, aby zapobiec riba al-nasia. Faktem jest, że gdy waluta posiada thamaniyya na całym świecie, wówczas jednostki gospodarcze, które używają tej globalnej waluty jako środka wymiany, jednostki rozliczeniowej lub zasobu wartości, mogą nie być zaniepokojone ryzykiem wynikającym ze zmienności kursów wymiany między państwami. Jednocześnie należy zauważyć, że duża większość walut nie pełni funkcji pieniądza, z wyjątkiem granic wewnętrznych, jeżeli są to środki prawne. Riba i ryzyko nie mogą współistnieć w tej samej umowie. Ta pierwsza oznacza możliwość zwrotu z zerowym ryzykiem i nie można jej zarobić na rynku z dodatnim ryzykiem cenowym. Jak wspomniano powyżej, możliwość wymiany riba al-fadl lub riba al-nasia może powstać w zamian w przypadku, gdy złoto lub srebro funkcjonują jako thaman lub gdy wymiana dotyczy papierowych walut należących do tego samego kraju lub gdy wymiana obejmuje waluty różnych krajów po stałym kursie walutowym. Ostatnia możliwość jest prawdopodobnie nieuzasadniona8, ponieważ cena lub kurs walutowy powinny mieć możliwość swobodnego wahania się zgodnie ze zmianami popytu i podaży, a także dlatego, że ceny powinny odzwierciedlać wewnętrzną wartość lub siłę nabywczą walut. Obecnie rynki walutowe cechuje wahania kursów walutowych. Zyski lub straty z tytułu transakcji w walutach różnych krajów są uzasadnione ryzykiem ponoszonym przez strony umowy. 2.1.4. Możliwość Riba z kontraktami futures i do przodu Do tej pory omówiliśmy poglądy na temat dopuszczalności bai salamu w walutach, to znaczy, gdy zobowiązanie tylko jednej ze stron do wymiany zostanie odroczone. Jakie są poglądy na temat odroczenia zobowiązań obu stron. Typowym przykładem takich umów są kontrakty terminowe i kontrakty terminowe9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, pric e, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. Wręcz przeciwnie, strony umowy odwracają transakcję, a umowa jest rozliczana wyłącznie w oparciu o różnicę cen. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. Na niestabilnym rynku uczestnicy są narażeni na ryzyko walutowe, a islamska racjonalność wymaga, aby ryzyko to zminimalizować w interesie efektywności, jeśli nie zredukować go do zera. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. Na tych poglądach opiera się dyskusja nad zakazem riba. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Ferex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbol karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sam lainnya sesuai denaw penanaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata ung antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat international dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara z negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekretarz nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul: 8212gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan z lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. 8220 Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan8221. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi dari Ibnu Mas8217ud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan z syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar . artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak whenyar jika ia telah melihatnya8221. Jual beli hasil ma bardzo duży rozmiar, seperti ketela, kentang, bawang i dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugia jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam dla dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etykieta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Władza malejąca dennis valuta as adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, walczący Inggris, ringgit Malezja i Sebaski. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan waluta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Zablokowany przez użytkownika, którego nazwa wskazuje na nazwę użytkownika, a mianowicie nazwę użytkownika. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (A. W. J. Tupanno, et. al. Ekonomi dan Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) Like this:Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAŻ FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, bahipoetics Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbol karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sam lainnya sesuai denaw penanaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata ung antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat international dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara z negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekretarz nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- ada perjanjian untuk memberi menerima Penny menyerahkan barang i pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan z lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli jang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi i Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat haru diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220 Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil ma bardzo duży rozmiar, seperti ketela, kentang, bawang i dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugia jika harus mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam dla dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum islam. 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Władza malejąca dennis valuta as adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, walczący Inggris, ringgit Malezja i Sebaski. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan waluta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Zablokowany przez użytkownika, którego nazwa wskazuje na nazwę użytkownika, a mianowicie nazwę użytkownika. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, i inni, Ekonomi dan Koperasi, Dżakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonezja Nr: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan do memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata ż dikenal beberapa ż Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda ż antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai z ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf dla pedicadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR. Albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muzułmański dari Ubadah bin Shamit, Nabi widział bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak den z perak, gandum z gandum, syair z syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sam pan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi saw bersabda: (Jual-beli) emas den perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Said al-Khudri, Nabi see bersabda: Janganlah kamu menjual emas z emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lang janganlah menjual perak z perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjali emas i perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Bara bin Azib i Zaid bin Arqam. Rasulullah dostrzegł melarang menjual perak den gara sekara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum musthen terikat z syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan z syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Jednostka Usaha Syariah Bank BNI nr. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh z ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak do spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila priemonės darbībām tādētējās tādētējās tādētējās tādētējās. (Kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing dla penyerahan pada saat itu (bez recepty) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunika, sedangkan watku dui hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bis dihindari i merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian i penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang i diberlakukan untuk waktu yang akang datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan z kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama z nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement for kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga naprzód. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPCJA yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit waluta asing pada harga jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejg tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah i disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Dżakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Marzec 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAHukum Labur wzmacniacz Berniaga Forex (Trading Forex) Zaharuddin Abd Rahman Saya minta minta pihak ustaz nie munchangan tentang pelaburan tukaran matawang asing i juga perniagaan Forex. Bagaimana pula jika saya melakukan transaksi sendiri dengan berbekalkan analisa sendiri atau yang disediakan oleh broker dengan melayari internet. Kemudian memperolehi untung dari jualan dan belian matawang asing ini. Terima kasih Bagi menjawab soalan ini, i perlu memahami dua jenis perkara iaitu: - 1 - Melabur wang ringgit i ke dalam satu syarikat yang memperolehi untung melalui FOREX. 2 - Melantik satu platforma atau syarikat do menjalankan jual beli wang asing dan simpan. Semua transaksi dijalankan oleh anda sendiri, syarikat hanya menyediakan platforma dan mengambil upah perkhidmatan sahaja. Pertama. Hukum bagi melabur dalam syarikat yang menjalankan FOREX: Forex (wymiana walut) atang yang lebih dikenal z Perdagangan Mata wang Asing Ia merupakan suatu jenis perdagangantransaksi yang memperdagangkan matawang sua negara terhadap matawang negara lainnya yang melibatkan pasar-pasar matawang utama di dunia selama 24 jam secara berterusan. Benar, memang FOREX matawang adalah diharuskan, tetapi keharusannya tertakluk kepada sejauh mana ia menurut garis panduan yang dikeluarkan dari hadis Nabi yang sohih. Iaitu: - a-Ditukar (serah dana terima) dalam waktu yang sama ia disebut dalam hadis sebagai yadan bi yadin. Dalam bahasa Inggerisnya adalah na miejscu. Ia datang banyak hadis antara yang paling utama adalah:. . . . . . . . . Ertinya. Emas dengan Emas (ditukar atau diniagakan). perak denim perak, gandum z gandum, tamar z tamarem, garam z garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar secara terus (pada satu masa) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai (muzułmanie z Riwayatu, nr 4039 nie hadis. 119). b - Nabi bersabda: - Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a. berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan secara serentak (serah terima dalam satu masa) (muzułmanin Riwayat, nr 1586, 31209) c - Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah s. a.w melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, nr 2070, 2762) Hadis-hadis di atas menyebut perihal displin Islam dalam pertukaran emas dan perak. Do informasi, ulama bersepakat bahawa matawang (banknot) juga adalah sama displinnya dengan emas dan perak disebabkankan nilai dan fungsinya sebagai medium of exchange. Justeru setiap displin dan syarat transaksi yang melibatkan emas dan perak juga TERPAKAI pada urusan transaksi matwang. Demikian keputusan Majlis Fiqh Antrabangsa i juga Majlis Kewangan Islam Antarabangsa di bawah AAOIFI. FOREX dalam matawang yang diuruskan oleje syarikat konvensional sudah pasti tidak akan menjaga syarat ini kerana kebanyakan FOREX yang dijalankan oleh institusi Konvensional adalah lsquoForward FOREX atau Forex yang menggunakan lsquoValue naprzód (nilai masa hadapan) yang tergolong dalam Riba Nasiah. Mereka juga kerap menggunakan SWAP, Opcje i narzędzia lain-lain yang tidak halal di sisi Szariat. Instrumen-instrumen tadi tidak memenuhi syarat Islam iaitu serah terima atau disebut qabadh dalam Islam secara benar hakiki atau hukmi pada waktu yang sama. Masalah dalam implementasi FOREX adalah bertangguh dalam penyerahan dari kedua-dua pihak. Tatkala itu aqad menjadi batal (Radd al-Muhtar ala ad-durr, 4531). Tidak saya nafikan, bahawa terdapat sesetengah Institusi Kewangan Islam yang melakukan forex ini setelah mendapatkan kelulusan Majlis Penasihat Shariah mereka, Namun semua mereka hanya terlibat dalam FOREX jenis SPOT dan bukannya jenis lsquoForward jika adaptun jenis forward ia menggunakan konsep Al-WAD atau Jednostronna obietnica dan ia telah disepakati keharusannya. Apa yang pasti, Majlis Shariah mereka telah meletakkan beberapa syarat dan bukannya secara bebas begitu sahaja. Justeru MELABUR MODAL (BEERTI ANDA MELABUR DAN KEMUDIAN TUNGGU UNTUNG SAHAJA) dan di dalam institusi kewangan konvenne yang memperolehi untung melalui cara FOREX adalah tidak halal di sisi Islam. Ia adalah keputusan Panel Penasihat Shariah dunia yang bernaung di bawah nama Księgowość amp Auditing Organization dla instytucji islamskich (AAOIFI). Antara panel penasiat Shariahnya adalah Syeikh Mufti Taqi Uthmani, prof. Dr Syeikh Wahbah Zuhayli, prof. Dr Syeikh Siddiq Dharir, Syeikh Abdullah al-Mani, dr Abd Sattar Abu Ghuddah, Syeikh dr Nazih Hammad, Syeikh Dr Hussain Hamid Hassan, Syeikh Nizam Yaquby, dr Mohd Daud Bakar, Syeikh Al-Ayashi al-Sadiq Faddad, Syeikh Ajil Nashmi dan ramai lagi. KEDUA. Hukum FOREX TRADING yang dijalankan sendiri - Bagi mengetahui hukum bagi bentuk kedua ini, pertama-tamanya ia tertakluk kepada: - a - Terdapat unsur judi atau tidak apabila membeli dan menjual matawnag hania kerana mengharap keuntungan dari perbezaaan nilainya. bukan kerana digunapakai di negara matawang terbabit. Maka setelah kajian perinci oleh JAKIM dan ISRA, mendapati unsur judi adalah wujud maka semua jenis forex trading adalah HARAM. b - Kesohihan dan kewibawaan syarikat platforma dari sudut lesennya dan pengenalannya. Ia diperlukan bagi mengelak i ditipu oleh platform syarikat yang tidak sebenar. Butiran terperinci berkenaan platform ini mestilah diteliti dan boleh diperolehi. Jika tidak, transaksi anda adalah syubhat dari awal lagi keran terdapat unsur gharar. b - Platforma Jika jest dostępna w wielu aplikacjach, takich jak informacje o usługach i innych usługach, a także w programach związanych z usługami sieciowymi w Malezji. Ini perlu bagi memoris i tidak terlibat z aktiviti menyalahi undang-undang Negara. Jika yang kedua juga lulus, saya kira transaksi jual matawang, asing i danadian jula semula apabila harga tukarannya naik adalah harra kerana ia sekara automatiknya dilaksanakan menurut kaedah lsquospot. Namun mari kita sama-sama cuba mehami dan menyemak bagaimana proses ini dilakukan secara ringkas dan melihat pandangan Islam tentangnya. Setakat apa yang diterangkan oleh individu yang terlibat dan yang tahu berkenaan cara forex handel memlali internet ini. Ia seperti berikut: - 1) Ia mempunyai minimum modal. Sebagai contoh 1 USD, 100 USD za lain-lain, między innymi za handel masing-masing. 2) Dengan modalny itu, pihak syarikat platforma handlowa na rynku forex, który jest płatnikiem prywatnym. Setelah itu, pihak peserta akan menentukan samada do membuka kaunter jualan matawangnya di dalam akaun atau membuka kaunter belian. Gambaran mudahnya adalah: - Katalah modalnya USD 100 yang dibeli z tukaran semasa hari tersebut USD 1 RM 3.6, dan dibuka kaunter lsquoselling melalui platform syarikat tersebut. Sebagai contoh, pada esok harinya apabila dilakukan analisa terhadap pegerakan nilai matawang, didapati nilai USD mengukuh berbanding Ringgit iaitu USD 1 RM 4 Tatkala itu, ia akan menekan button jual USD 100 dan memperolehi RM 400. Ini bermakna ia telah beroleh keuntungan sebanyak RM 40 strojenie harga belian asalnya tadi. Pihak syarikat FOREX ini MESTILAH memasukkan seluruh RM 400 itu sebaik sahaja transaksi jual beli dilakukan, TIDAK DIBENARKAN DILEWATKAN ATAU DIMASUKKAN SEBAHAGIAN SAHAJA, jika dalam contah di atas, hanya RM 40 dimasukkan, manakala baki modal sebanyak RM 360 hanja akan dimasukkan sejurus peserta menutup akaun pada hari tersebut. Isu Szariat. Jika ini tidak berlaku, maka ia lulus dari sudut Shariah, namun jika kelewatan berlaku, isu Shariah di sini adalah berlaku penangguhan dalam penyerahan matawang ringgit. Ini menjadikan ia bercangah den arahan Nabi s. a.w: - Dalam menukar wang dengan wang, Nabi telah menyebut garis panduan yang mesti dipatuhi iaitu: Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a. berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan secara serentak (serah terima dalam satu masa) (muzułmanin Riwayat, nr 1586, 31209) Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah zobaczył melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, nr 2070, 2762) Imam An-Nawawi telah menyebut denang terang bahawa para ulama telah bhakwad wajibnya syarat serah terama dalam satu masa atau lsquoTaqabud samada secara hakiki (fizikal) atau hukmi (melalui mediuam internet tetapi punyai bukti seperti resit atau elektronika yang menunjukkan transaski sah) (Syarah Sohih Muslim) Cadangan. Mesti dipastikan bahawa semada transkasi jual beli dilakukan, kesemua modal dicampur untung dimasukkan di dalam akaun kita tanpa sebara tangguh, i sekara automatika juga kita boleh mengeluarkan wang tersebut tanpa sebarang halangan. 3) Terdapat syarikat yang mensyaratkan minimum modalne yang tinggi seperti USD 1000 dan lain-lain jumlah. Untuk itu mereka menawarkan apa yang dinamakan dźwignię yangmana modal peserta akan digandakan. Sebagai contoh, katalah modal sebenar anda adalah 100 USD. Maka anda dikehendaki memilih atau secara pilihan memlih gandaan yang dikehendaki. Seperti 1. 10 beerti modal i akan digandakan kepada 10 kali menjadi 1000 USD atau jika memilih 1: 100, beerti modal anda menjadi 10000 USD. Dengan jumlah baru inilah matawang i akan di pasarkan di pasaran. Wykorzystanie różnych instrumentów finansowych lub pożyczonego kapitału, takich jak marża, w celu zwiększenia potencjalnego zwrotu z inwestycji. Dźwignia może zostać utworzona poprzez opcje, kontrakty futures, marżę i inne instrumenty finansowe. Załóżmy na przykład, że masz 1000 do zainwestowania. Kwota ta mogłaby zostać zainwestowana w 10 akcji spółki Microsoft, ale aby zwiększyć dźwignię, można zainwestować 1000 kontraktów na pięć opcji. Następnie zamiast 500, zamiast 10 (Rujukan), będziesz kontrolował 500 akcji zamiast tego. (Jukatan Jari), a przecież nie ma menggunakan. Leverage ini adalah HARAM kerana ia dikira menjual matawang yang tidak di dalam milik anda. Milik sebenar anda hanyalah 100 USD tetapi yang dijual adalah 10,000. Ia berdasarkan apa yang disebut oleh Nabi s. a.w. Ertinya. Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak di dalam milikmu (Riwayat Abu Daud, nr 3504, 3283) Malah saya juga hampir pasti, wang yang digandakan oleh syarikat itu dikira sebagai pemberian pinjaman i sudah tentu mereka akan mengambil sedikit keuntungan samada diketahui atau tidak diketahui oleh peserta . Jika ini berlaku, sekali lagi riba telah berlaku. Bagi mengelakkan perkara yang ditegah oleh Islam dari berlaku di sini, penggunaan dźwignia 1: 1 sahaja yang dibenarkan. Wallahualam. 4) Diberitakan juga pihak syarikat menasihatkan peserta agar menggunakan modalnya kurang dari 30 bagi mengurangkan risiko semasa trading dijalankan. Dan jika terdapat masalah kemungkinan rugi atau apa yang dinamakan margin call, pihak peserta dibenarkan memuka kaunter satu lagi samada jual atau beli bagi menyeimbangkan kemungkinan rugi. Pandangan. Wallahualam, jika semunya dilaksanakan z jelas dan perancangan yang betul. Setakat ini saya adidas adanya masalah Shariah dalam tindakan in KECUALI IA MEMPUNYAI ELEMN PERJUDYNA YANG JELAS KERANA MEMORY NILATNIE JEDNOSTKOWE WŁASNOŚCI BUKAN KOMODITI. Wallahualam. Walaupun berniaga wyślij do przyjaciela zaloguj się lub zaloguj się Zapamiętaj mnie na tym komputerze Zapomniałeś hasła? Kliknij tutaj, aby się zalogować albo tutaj żeby zamieścić treść pytania. diniagakan bagi memperolehi untung dari perbezaan nilainya. Kita ma to, co się stało, jest w tym momencie i nie ma nic wspólnego z tym, co się stało, nie może zostać zaksięgowana (nie może zostać odebrana). Należą do niego dane dotyczące globalnego yang, a zapotrzebowanie i podaż di pasaran dunia. Justeru, menjadikan cara ini bagi memberikan anak dan isteri makan bukanlah satu bentuk kerjaya yang terpuji dalam islam. Malah ia sebenarnya membantu sistem kapitalis i menguatkan sistem ekonomi yang mereka anjurkan. Justeru, fikirkanlah. Jika anda tidak ingin menerima padnagan saya, tidak mengapa tetapi bacalah pendapat ulama besar kewangan Islam sedunia iaitu Syeikh Mufti Taqi Uthmani dalam hal ini: Handel walutami Forex By Mufti Muhammad Taqi Usmani Wysłany: 11 Zul QaDah 1424, 22 listopada 2007 r. Q.) Czy Forex Waluta Handel Halal Dołączyłem dokument szczegółowo opisujący aspekty działalności. A.) Przeszedłem przez ciebie papierami. Jestem zdania, że ​​te transakcje nie są zgodne z szariatem. Sam fakt, że nie można zabrać dostawy zakupionej waluty sprawia, że ​​jest to niedopuszczalne. Co więcej, według mojej wiedzy są inne elementy, które powodują, że handel ten jest niezgodny z prawem w szariatu, na przykład sprzedażą na odległość, krótką sprzedażą itd. Jest to dodatkowe, że waluty były pierwotnie środkiem wymiany i powinny być wymieniane tylko na do użytku osobistego w różnych krajach. Ułatwienie ich zbywalnemu towarowi tylko za zarabianie zysków jest również sprzeczne z podstawową filozofią islamskiej ekonomii. W związku z tym nie radziłbym zajmować się tym handlem. Sila Buka Sumber. Forex Trading Adakah anda mengenali siapa Syeikh Mufti Taqi Uthmani, sila buka di sini to mengenalinya. Zaharuddin Abd Rahman 28 Zulhijjah 1428 ps. Semua pemain forex, nie mów jawpaan saya inin adalah jawapan yang dipermudah agar ia boleh difahami orang awam. Jika terdapat kesilapan teknik carajual dan beli, boleh dimaklumakn kepada di ruangan komentar kerana info tentang tatacara di atas juga saya perolehi dari yang terlibat. Syaa tiada masa do membuat pembacaan i kajian sendiri di ketika ini. Sekian Dodaj tę stronę do swoich ulubionych serwisów społecznościowych Więcej.

1 comment: